CATATAN-MERAH.COM, BANGKA BELITUNG –- Aroma operasi senyap semakin tercium di balik industri tambang timah di Bangka Belitung. Bocornya dokumen internal bertajuk “Rencana Gelar Pasukan Pengamanan dan Penertiban di PT Timah Tbk” mengungkap keterlibatan 700 personel gabungan TNI, mulai dari Marinir, Kopassus, Kodam II/Sriwijaya, Lanal, hingga Bakamla untuk mengamankan wilayah konsesi PT Timah.
Tersiar kabar, dalam dokumen bertanggal 21 Agustus 2025 itu, ratusan alutsista canggih disiapkan, mulai dari Rigid Inflatable Boat (RIB), drone pengintai, hingga pos pantai permanen. Pasukan ditempatkan di 28 titik operasi: 19 titik laut dan 9 titik darat, tersebar di Bangka, Belitung, dan Kundur.
Namun yang lebih menggelisahkan, saat sejumlah wartawan yang mencoba meliput pertemuan koordinasi di lapangan dilarang mengambil foto dokumentasi maupun merekam. Larangan itu datang langsung dari aparat berseragam TNI, ikhwal ini menimbulkan dugaan kuat bahwa operasi ini bukan sekadar penertiban tambang ilegal, melainkan proyek besar yang sengaja ditutup dari publik khususnya masyarakatnya Provinsi Kepulauan Bangka Belitung.
Di tengah isu panas itu, perhatian publik juga tertuju pada kedatangan Andi Syamsuddin Arsyad atau Haji Isam, taipan batu bara asal Kalimantan Selatan yang dikenal dekat dengan lingkaran kekuasaan. Haji Isam dilaporkan berada di Bangka Belitung beberapa waktu setelah kedatangan para petinggi TNI dengan mengunakan pesawat Jet pribad. Sedangkan para petinggi TNI diduga salah satunya adalah Komandan Satgas Timah tiba di Bandara Depati Amir terlebih dahulu mendarat di bumi Serumpun sebalai mengunakan pesawat Garuda Indonesia usai lepas landas (Take Off) dari Bandara Halim Kusuma Jakarta.
Kedatangan senyap ini memicu spekulasi bahwa operasi militerisasi tambang timah tak lepas dari jejaring bisnis raksasa yang ingin menguasai sumber daya strategis tersebut yang ada di kepulauan Bangka Belitung.
Sejumlah pengamat menilai, pola yang terjadi di Bangka Belitung mirip dengan “pengamanan khusus” yang kerap muncul di kawasan tambang batu bara Kalimantan. Militerisasi tambang menjadi pintu masuk bagi korporasi untuk memastikan kelancaran produksi, meski berpotensi mengorbankan hak masyarakat lokal, nelayan, hingga lingkungan pesisir.
Dokumen yang sama juga mencatat target ambisius PT Timah: produksi 21.500 ton per tahun atau setara 1.800 ton per bulan. Bahkan, ada upaya percepatan izin lingkungan (AMDAL), PKKPRL, hingga revisi RKAB untuk menambah kapasitas, termasuk di blok Olivier, Belitung Timur.
Seorang aktivis lingkungan yang enggan disebutkan namanya menegaskan: “Ketika aparat dikerahkan dalam jumlah besar, wartawan dilarang meliput, dan pengusaha besar tiba-tiba muncul, jelas ada agenda terselubung. Negara seolah lebih sibuk mengawal kepentingan korporasi ketimbang melindungi rakyat.”
Hingga kini, baik PT Timah, pihak TNI, maupun Haji Isam belum memberikan klarifikasi terbuka. Namun kehadiran figur pengusaha besar bersamaan dengan pengerahan pasukan bersenjata di Babel membuat publik semakin curiga: apakah tambang timah kini sudah resmi masuk dalam lingkaran oligarki dan militerisasi?(Redaksi)