CATATAN-MERAH.COM, BANGKA BELITUNG – Aroma permainan tak sedap tercium dari kebijakan Perum Bulog Cabang Bangka yang sejak awal September 2025 menghentikan pembelian gabah kering panen (GKP) petani lokal. Kebijakan ini membuat ratusan petani, khususnya di Desa Rias, Bangka Selatan, terpaksa menjual gabah dengan harga jauh di bawah Harga Pembelian Pemerintah (HPP) Rp6.500/kg.
Seorang narasumber terpercaya yang enggan disebutkan namanya mengungkap dugaan kuat bahwa Bulog Babel sengaja “bermain mata” dengan sejumlah pengusaha lokal. Modusnya, Bulog lebih memilih memasok beras dari luar Babel, terutama dari Sumatra, melalui jalur Pelabuhan Muntok, ketimbang menyerap gabah hasil panen petani lokal.
“Ini bukan sekadar kuota habis. Ada dugaan permainan distribusi yang menguntungkan pengusaha tertentu, sementara petani kita dikorbankan,” ungkap sumber investigasi media.
Petani Jadi Korban, Tengkulak Untung Besar
Kebijakan ini memicu keresahan luas di kalangan petani. Mereka kehilangan akses pasar yang seharusnya dijamin Bulog, sehingga terpaksa menjual ke tengkulak dengan harga murah. Kondisi ini menciptakan rantai keuntungan sepihak bagi tengkulak dan pemasok luar daerah, sementara petani Babel merugi besar.
“Bulog seharusnya jadi benteng perlindungan petani. Kalau malah jadi pintu masuk beras luar, siapa yang melindungi kami?” keluh seorang petani di Desa Rias.
Gubernur Pasang Badan
Kabar ini sampai ke telinga Gubernur Babel, Hidayat Arsani. Dari Batam, di sela agenda nasional Sabtu (20/9/2025) malam, ia langsung menghubungi Kepala Bulog Cabang Bangka, Akhmad Fahmi Yasin.
“Kenapa Bulog berhenti membeli gabah petani? Ini merugikan rakyat. Bulog harus segera cari solusi, jangan biarkan petani jadi korban,” tegas Hidayat.
Namun, Kepala Bulog hanya beralasan bahwa kuota pembelian sudah habis. Jawaban itu membuat Gubernur Hidayat geram dan mengeluarkan ultimatum: Kepala Bulog diwajibkan menghadap dirinya pada Senin (22/9/2025) untuk membahas solusi agar petani tidak terus dirugikan.
Kontradiksi dengan Program Swasembada
Penghentian pembelian gabah oleh Bulog bertolak belakang dengan program pemerintah pusat dan daerah yang tengah menggaungkan swasembada pangan. Ironisnya, justru di saat produksi lokal meningkat, petani Babel dibiarkan kehilangan pasar.
“Kalau praktik ini benar adanya, artinya Bulog justru melemahkan kemandirian pangan daerah. Ini bukan lagi soal kuota, tapi soal integritas,” ujar seorang aktivis pertanian Babel.
Mafia Beras Mengintai Babel?
Informasi dugaan adanya permainan Bulog bersama pengusaha membuka pertanyaan serius: apakah ada mafia beras yang sedang bermain di Babel? Jika benar, maka kasus ini bisa jadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum untuk membongkar jejaring distribusi beras ilegal yang merugikan petani sekaligus melemahkan ketahanan pangan daerah.
Gubernur Hidayat menegaskan pihaknya tidak akan tinggal diam. “Petani Babel harus dilindungi. Jangan ada kebijakan yang membunuh semangat mereka. Saya akan berdiri paling depan membela rakyat,” tutup Hidayat. (Abie)